Minggu, 07 Juni 2020

Landasan Teoretik Wacana Peran Teknologi Dan Media Pada Periode 21

teoretik tentang peran teknologi dan media pada abad  LANDASAN TEORETIK TENTANG PERAN TEKNOLOGI DAN MEDIA PADA ABAD 21

Landasan teoretik perihal peran teknologi dan media pada masa 21. Ada tiga klarifikasi teoretik ihwal tugas teknologi dan media pada periode 21, yaitu teori diterminisme teknologi, diterminisme sosial, dan teori mediatisasi.

Pertama, berdasarkan asumsi diterminisme teknoloigi Pendekatan determinisme teknologi memposisikan teknologi selaku aspek mayoritas dan berpengaruh dalam mengubah perilaku komunikasi warga masyarakat. Hadirnya pembelajaran hibrida yang sebagian mempergunakan e-learning selaku acuan pembelajaran online dianggap selaku penentu bagaimanakah perilaku mencar ilmu penerima ajar. Hal ini akan menjadikan ’pemaksaan’ pada penerima asuh, sehingga mereka harus mengikuti contoh yang sudah ditetapkan oleh teknologi yang digunakan dalam proses belajarnya. Model web-based learning yang dikendalikan oleh platform yang diseleksi oleh suatu mata kuliah, termasuk dalam pendekatan deterministik teknologi ini. Dalam masa 21 ini, argumen diterminisme teknologi dan imbas media ini sesuai dengan perkiraan cyber optimis. Fakta memperlihatkan bahwa kini ini antusiasme berguru berbasis TIK cukup tinggi. Antusiasme guru, murid, dan satuan pendidikan yang begitu tinggi terhadap kehadiran pendidikan era digital ini mengindikasikan adanya kesesuaian dengan perkiraan kubu cyber optimis. Situasi optimistic ini juga ditunjukkan oleh pemerintah yang sangat yakin bahwa dengan digitalisasi pendidikan akan bisa menciptkan generasi abad 21 yang sering disebut selaku generasi emas. Oleh sebab itu pemerintah sungguh yakin bahwa dengan teknologi akan menjinjing berkah bagi pengembangan sumber daya insan Indonesia lewat proses pembelajaran dan pendidikan pada umumnya.

Kedua, mengikuti persepsi diterminisme sosial, yang memandang bahwa keinginandan keputusan penduduk atau individulah yang memilih efek-imbas yang muncul dari kedatangan TIK. Pada dasarnya TIK merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, yaitu sebuah hasil konstruksi rekayasa penduduk , bukan suatu fenomena yang terpisah dari konteks sosial. Determinisme sosial merupakan proses yang mutual yang menempatkan pertumbuhan TIK dan praktek sosial saling menentukan kehidupan sosial itu sendiri (Lievrouw, 2006). Kaprikornus bukan TIK yang menentukan contoh interaksi penduduk , tetapi keperluan komunikasi masyarakatlah yang menghadirkan teknologi tersebut sebagai sarana komunikasi mereka. Kebutuhan belajar yang tidak dapat dipenuhi oleh pembelajaran tradisional berbasis tatap mukalah yang menentukan kehadiran pembelajaran online, selaku salah satu tata cara pembelajaran hibrida. Arnold Pacey berpendapat bahwa kita akan lebih dapat mengerti dalam melihat datangnya teknologi dengan menyatukan antara persepsi bahwa teknologi itu bebas nilai (value free) dan teknologi itu juga berkaitan dengan nilai-nilai kultural. Teknologi semestinya dilihat sebagai acara manusia dan sebagai bagian dari kehidupan manusia. Tidak cuma melihatnya selaku mesin, teknik, dan wawasan saja tetapi juga perlu pelibatan karakteristik contoh-acuan organisasi dan nilai-nilai yang diyakininya (Pacey, 2000:4). Oleh karena itu, e-learning tidak cuma dilihat dari perspektif determinisme teknologi, tetapi juga dilihat dari sudut pandang determinisme sosial. Ini juga menganjurkan bahwa  melihat teknologi tidak hanya dari definisinya saja, namun juga prakteknya. Teknologi dapat dibedakan antara ”teknologi” sebagai artefak yang memungkinkan manusia mengendalikan lingkungan dan ”technology-practice” sebagai artefak yang menempel di dalam organisasi dan pemikiran -gagasannya. Sifat negatif teknologi mampu hadir bukan alasannya adalah kesalahan artefaknya, namun alasannya adalah kesalahan dalam technology-practice-nya. Teknologi saat dilihat sebagai artefak, maka teknologi ialah netral.

Ketiga, pandangan teori mediatisasi ialah sebagai proses dinamis dalam hubungan antara keberadaan media di tengah masyarakat yang bersifat insitusional. Di sini media yang awalnya ialah hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian menjelma institusi sosial, yang lalu juga terlibat dalam pergulatan kekerabatan dengan institusi sosial lainnya. Karena itu Hjarvard mengerti mediatisasi dengan ciri utama: pertama, media sudah berkembang menjadi institusi otonom dan indipenden kepada penduduk . Kedua, pada saat yang sama saat media tampil sebagai institusi indipenden, media lalu menjadi lebih terintegrasi dengan institusi sosial yang lain. Media massa, media interaktif, dan variasi keduanya telah menjadi sesuatu yang lumrah, adalah sebagai bagian pasti bagi kehidupan sehari-hari mirip pendidikan, politik, kehidupan keluarga dan agama.


Sumber https://arenamodel.blogspot.com


EmoticonEmoticon